Rabu, 28 Desember 2011

Malang Benar Nasib Kampung Soetan Sjahrir

BATAHAN NATAL – Bahasa dan budaya jadi bukti, lebih separo penduduk di Kecamatan Batahan dan Natal, Kabupaten Mandahiling Natal (Madina), Sumut, adalah Minangkabau tulen. Sayangnya, kendati mereka adalah penduduk asli di pesisir barat Sumatra itu, tapi nyaris tidak ada pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah.

Malang benar nasib si Minang provinsi sebelah itu. Dahulu mereka hidup dari berkebun cengkeh. Di awal 1980-an, cengkeh tak mau hidup lagi. Penyakit mati ke pucuk yang menyerang. Warga pun beralih jadi nelayan secara total. Kegarangan ombak di pantai barat mereka hadang. Potensi perikanan yang demikian besar, mampu mengangkat kembali perekonomian setelah diamuk gagalnya perkebunan cengkeh.

Kejayaan itu tak berlangsung lama. Prilaku ilegal fishing para nelayan serakah, baik berasal dari Sibolga maupun luar negeri, mengakibatkan ikan di laut berubah menjadi makhluk langka. “Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, trawl (pukat harimau) dan hamparan mengakibatkan rusaknya habitat ikan. Tak ada lagi tempat mereka berkembang biak,” terang seorang warga.

Ketika ikan telah menjadi langka, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Si Minang yang bermukim di Batahan dan Natal itu mengambil keputusan nekat: kapal bagan yang selama ini jadi penopang mata pencaharian terpaksa dijual. Kalau dulu ratusan bagan warga setiap hari merapat di pelabuhan pendaratan ikatan, maka kini hanya satu dua. Itu pun dengan hasil tangkapan yang alakadarnya saja.

Kemiskinan pun merajalela. Roda ekonomi warga nyaris tak bergerak lagi. Derajat kesehatan menurun. Anak-anak banyak yang putus sekolah. Sebagian warga beralih jadi buruh harian lepas (BHL) di perusahaan-perusahaan perkebunan dengan standar upah jauh di bawah standar layak dan pantas, sebagian lagi memilih untuk menjual sisa-sisa lahan yang pernah dipunyai. Kini, Batahan dan Natal berubah menjadi sebuah potret kenelangsaan yang nyaris tak seorang pun yang peduli.
Berharap dari adanya pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan dengan terbentuknya Kabupaten Madina, ternyata tidak menyelesaikan persoalan. Akses ke Batahan dan Natal yang masyarakatnya berbahasa Pariaman dengan logat Melayu itu tak pernah terperhatikan. Ada-ada saja alasan Panyabungan (sebutan untuk ibukota Madina) untuk tidak membangun di negeri yang berpenduduk lebih dari 20 ribu jiwa.

Berkunjung ke Batahan dan Natal bukanlah pekerjaan mudah. Jalan raya dari Jembatan Merah dan Silaping (Pasaman Barat, Sumbar) sangat memprihatinkan. Kalau musim panas ‘aspalnya’ berdebu, sementara musim hujan ‘aspalnya’alah nyalang. Berkubang. Penuh lumpur. Tak ada kendaraan bermotor bisa melewati.

“Dua puluh tahun lalu saya berkunjung ke sini, kondisi jalannya sudah seperti itu juga. Kini saya ke sini lagi. Masih jalan tanah juga rupanya sarana transportasi ke Batahan ini. Tak ada rupanya yang peduli. Malang benar nasib sanak saudara kami di sini,” ujar Salman, salah seorang perantau Batahan di Jakarta, Minggu (30/1) di Batahan.

Jalan tanah itu panjangnya mencapai sekitar 45 kilometer. Akses jalan beraspal terakhir hanya bisa ditemukan di Pulo Padang, Kecamatan Lingga Bayu. Sebenarnya bukan hanya Batahan yang marasai akibat tak ada akses jalan raya itu. Masyarakat Kecamatan Sinunukan, berada di jalur Simpang Gambir-Batahan juga ikut-ikutan menderita. Bedanya, mayoritas warga Sinunukan adalah transmigran asal Jawa, sementara Batahan adalah warga keturunan Minangkabau. Apakah pemerintah Tapsel (dahulu) dan Madina (kini) berlaku diskriminatif? Tak tahulah.

Mantan Wakil Ketua DPRD Madina, H. Aflan Nasution, mengatakan, Pemkab Madina tidak bisa mengalokasikan APBD-nya untuk membuka akses jalan raya ke Batahan via Sinunukan karena untuk membangun jalan lintas adalah kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
“Untuk pembangunan jalan raya untuk membuka keterisolasian Sinunukan dan Batahan tidak bisa dengan APBD Madina. Itu adalah kewenangan provinsi. Saya sudah coba memperjuangkannya. Tapi tak berhasil,” katanya.
Masyarakat Natal dan Batahan benar-benar Minang, kendati ada beberapa warga yang juga Mandahiling. Dari daerah ini telah lahir orang-orang terkenal semacam Soetan Sjahrir dan Soetan Takdir Alisjahbana. Begitu juga dengan istri Mohammad Natsir. Ada 12 kepala suku di nagari ini.

Aktifitas masyarakat juga berorientasi ke Sumbar. Bagi warga Natal dan Batahan, Padang dan Pasbar lebih dekat di hati ketimbang Panyabungan dan Medan. Segala kebutuhan warga, mulai dari minyak tanah, bensin, solar hingga beras dan kebutuhan lainnya, didatangkan dari Padang, Ujunggading dan Simpangempat. Bahkan, kendaraan bermotor milik warga, lebih banyak yang menggunakan BA ketimbang BB atau BK.

“Rasanya kami tak ikut merdeka. Sudah luar biasa pesat perkembangan pembangunan di daerah sekeliling, tapi kami tetap begini-begini saja. Kalau Pemkab Madina tak kunjung peduli juga, perkenankanlah kami bergabung kie Sumbar atau diizinkan mendirikan kabupaten baru. Tak tahan lagi kami dengan keterisolasian dan keterasingan seperti ini,” seorang warga berkeluh-kesah.*** (Musriadi Musanif)
Source: Klik Disini

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Untuk pengiriman berita berupa reportase, opini, usul, atau apapun terkait Batahan, bisa diemailkan ke: feribatahan@yahoo.com atau batahan123@gmail.com

Total Tayangan Halaman

 
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | New Blogger Themes